MAKNA TUMPEK PENGATAG
Tumpek
Pengatag
Tumpek Pengatag di Bali dikenal dengan banyak nama yaitu tumpek Wariga
dikenal juga sebagai tumpek bubuh, dan juga tumpek pengarah. Jatuh pada hari Saniscara,
Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Rangkaian upacara
ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi
Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan
manusia.Tumpek Wariga adalah hari untuk menghaturkan puji syukur kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (masyarakat Bali
Kuno menyebut sebagai Kaki Bentuyung), Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang
dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan dengan menghaturkan bubur/bubuh.
Selain itu,Tumpek wariga juga merupakan rangkaian awal dalam persiapan
menyambut hari raya Galungan. Dalam bagawad gita.III. 14 yang isinya
Annaad bhavanti bhuutaani Prajnyaad annasambhavad Yadnyad bhavati parjanyo Yadnyah karma samudbhavad
Yang artinya:
Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan
berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan .Hujan berasal
dari yadnya.Yadnya itu adalah karma.
Tanpa tumbuh-tumbuhan, semua makhluk
bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya, karena bahan pokok makanan hewan
dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari
bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini. Dan masihkah kita tidak
menghargai apa yang telah boleh kita terima dari bumi pertiwi? Bagaimana cara
kita menghargainya? Ini lah salah satu bentuk kearifan budaya lokal yang
sungguh Adi Luhung….. Tumpek Wariga.
Manusia sebagai makhluk hidup yang paling serakah sering
berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup tumbuh-tumbuhan tersebut. Untuk
menumbuhkan sikap yang adil dan penuh kasih kepada tumbuh-tumbuhan, umat Hindu
memohon tuntunan Dewa Sangkara sebagai manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Karena
itu, umat Hindu di India memiliki ”Hari Raya Sangkara Puja”, sedangkan umat
Hindu di Bali memiliki Tumpek Wariga sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara.
Kemasan luar perayaan Sangkara Puja di India dan hari Tumpek
Wariga di Bali tentunya berbeda, tetapi maknanya tidak berbeda. Kedua hari
tersebut sebagai suatu proses ritual yang sakral untuk mengingatkan umat
manusia agar selalu memohon tuntunan Tuhan dalam mengembangkan dan melindungi
tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan makhluk hidup yang paling utama.
Dalam lontar sunarigama tumpek Pengatag pada hari saniscara
kliwon wuku wariga dinyatakan sebagai hari pemujaan Batara Sangkara yaitu
dewanya tumbuh-tumbuhan. Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag dihaturkan
persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai
Sangkara, Dewa Penguasa tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai
pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan
tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang
Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti
dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Perayaan hari Tumpek Pengatag mengajarkan pada umat manusia
bahwa kita wajib bersyukur atas harmoni yang membantu kita tinggal dalam alam
kehidupan kini. Menghormati dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman
yang ada, memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan
menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan
penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu
diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam
memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia
bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah
keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa
direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan
momentum untuk memahami dan bersyukur atas segala jasa Ibu Pertiwi kepada
umat manusia. Bersahabat dengan alam, tidak merusak lingkungan, belajar
dari pengalaman para leluhur / para tetua Bali di masa lalu, yang
telah memiliki visi untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang
dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga.
Visi dan misi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga
kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan
lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum
manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu
mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai
bulan menanam pohon.
Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan
ide perencanaan dan pelaksanaan dalam bentuk yang menyimpang, pemaknaan yang
tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu
yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti
dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti
dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih
kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi.
Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya, menurut pandangan Ketut Gobyah, salah satu pemuka
masyarakat, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan
menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan
menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan
tindakan nyata, satu orang menanam satu pohon. Dengan begitu, Tumpek Pengatag
yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari
Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena
peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena
diselimuti tradisi kultural bermakna kental.
Mari terus menerus menjaga kebersihan dan kelestarian
lingkungan kita. Dalam skala kecil, berawal dari lingkungan tempat tinggal kita
dahulu. Menanam tumbuh-tumbuhan untuk kelestarian lingkungan, dan dijadikan
sarana memuja Tuhan. Dalam skala yang lebih besar lagi, mengaktifkan dengan
menanami berbagai jenis tanaman pada banyak lahan tidur di Bali. Hasilnya akan
bisa dimanfaatkan masyarakat Bali sendiri tanpa harus tergantung dari pasokan
luar Bali, khususnya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sarana upacara
keagamaan.
Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus
menerus, dan berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh
dunia. Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara
niskala kita melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga
ke Tumpek Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam
pelestarian tumbuh-tumbuhan Bali.
Jadi makna dari tumpek pengatag itu
yaitu hari untuk mengucapkan puji dan syukur kita kepada Tuhan. Kususnya Dewa
Sangkara sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan. Mengingatkan kita untuk menjaga alam
ini supaya tidak menjadi bencana. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Belum ada Komentar untuk "MAKNA TUMPEK PENGATAG"
Posting Komentar